Tuesday, April 22, 2008

Merangkul Dunia With Andrea Hirata

Sungguh suatu kebahagiaan tersendiri bagi saya bisa bertemu langsung dengan penulis buku best seller Laskar Pelangi, Andrea Hirata.

Andrea Hirata khusus datang ke Makassar atas undangan yayasan perguruan Islam Athirah yang didirikan oleh Bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla. Acaranya ini sedianya diperuntukkan bagi guru dan orangtua murid Sekolah Athirah, namun rupanya karena animo masyarakat penikmat buku trilogi Andrea Hirata sangat tinggi, maka akhirnya dibukalah seminar pendidikan anak ini untuk umum.

Saya sendiripun mengetahui infomasi ini secara tidak sengaja saat membaca iklan di koran Fajar (harian lokal Makassar) dua minggu lalu. Secara pribadi, saya baru mulai mengenal sosok penulis yang murah senyum ini, sekitar dua bulan yang lalu. Saat itu saya baru tiba kembali ke tanah air setelah menyelesaikan pendidikan S2 selama 1,5 tahun diUniversity of Technology Sydney atas beasiswa pemerintah Australia. Sepulangnya itu saya diserahi tanggung jawab untuk mengajar mahasiswa S1 Keperawatan UNHAS (Universitas Hasanuddin) semester 6. Saat berinterkasi dikelas, saya sering mendengar mereka secara serempak menyebut-nyebut nama Andrea Hirata sebagai seorang penulis buku hebat dan the real inspirator. Saya sempat kebingungan dan bertanya ke mereka, siapa sih itu Andrea Hirata? Saya kok belum pernah dengar nama beliau sebelumnya? Padahal saya adalah salah satu penikmat buku-buku novel & psikologi best seller baik itu dalam mapun luar negeri semacam Ari Ginanjar Agustian, Aa Gym, Andrie Wongso, Habiburrahman Elshirazy, Dale Carniege, Barbara Cartland, Sydney Sheldon, Rhonda Byrne, Florence Litteaur, dll. Kok bisa-bisanya Andrea ndak masuk dalam perbendaharaan memori saya? Mereka menjawab bahwa Andrea ini penulis buku best seller Laskar Pelangi, yang menulis bagaimana suka-duka perjalanan hidupnya dalam memenuhi mimpinya untuk menginjakkan kaki di University de Paris, Sorbonne Perancis hanya dengan bermodalkan mimpi, tekad, ketulusan dan keteguhan hati. Karena penasaran, maka semenjak itulah saya mulai berburu dan mencari tahu siapa ini Andrea Hirata. Hal pertama yang saya lakukan adalah browsing di internet, lumayan banyak informasi yang saya dapatkan. Setelah itu saya mulai berburu masterpiece Andrea di Gramedia MARI (Mall Ratu Indah). Saat itu juga, kedua bukunya "Sang Pemimpi" dan "Edensor" langsung saya borong karena penasaran untuk membaca isinya (buku pertamanya Laskar Pelangi tidak jadi saya beli, karena selain mahal juga karena seorang teman berjanji untuk meminjamkannya pada saya). Tiba dirumah, buku itu langsung saya lalap sepeprti orang kelaparan belum makan berhari-hari. Mungkin seperti kata Andrea, bahwa untuk menulis bukunya itu, beliau sepeprti orang yang trance (kesurupan) hanya membutuhkan waktu tiga minggu saja untuk menyelesaikan novelnya, maka sayapun agaknya seperti itu. Semakin saya baca, maka semakin penasaranlah saya untuk tahu kelanjutan bab demi bab, buku demi buku. Tak terasa 2 hari bagi saya cukup untuk mengkhatamkan buku tersebut tanpa mengabaikan tugas utama saya sebagai seorang pengajar. Jujur dari buku itu saya belajar banyak hal, mengenai kejujuran, ketulusan, konsistensi, cita-cita, perjuangan dan pembentukan watak berdasarkan nilai-nilai moral yang Islami. Sangat jarang bisa menemukan karya sastra sebagus itu. Nah itulah hal-ihwal bagaimana saya bisa mengenal dan menyelami isi pikiran Andrea Hirata.

Kembali ke seminar di atas. Apresiasi masyarakat Makassar terhadap Andrea Hirata bisa dilihat dari banyaknya peserta yang datang khusus melihat penulis yang berulangtahun setiap tanggal 24 Oktober ini. Saat membeli tiket seminggu sebelumnya saya sempat bertanya kepada panitianya berapa estimasi peserta yang akan hadir pada acara tersebut, dijawab berkisar antara 500 hingga 750 orang. Wow, angkanya sangat fantastis menurut saya. Ini menandakan bahwa ternyata minat baca 'to mangkasara' (I mean penggemar makassar, yang at least tahu dan sudah membaca buku Andrea) jumlahnya cukup banyak, dan Andrea sebagai seorang penulis tergolong sangat sukses merebut hati keras orang-orang Makassar.

Acara seminar dimulai pukul 9.00. Molor setengah jam dari waktu yang telah ditentukan panitia. Panitia yang mengenakan pakaian seragam berwarna pink-putih, sudah menanti peserta dibagian pintu masuk. Begitu menunjukkan tiket seharga Rp. 60 ribu tersebut, kami langsung diberikan sebuah pin besar bertuliskan "Merangkul dunia bersama Andrea Hirata" yang harus langsung disematkan didada, ditambah stiker, sertifikat dan handout mengenai yayasan perguruan Athirah. Saya cukup beruntung, karena walaupun terlambat memasuki ruangan yang sudah terisi hampir sepenuhnya, tapi saya dan kolega saya, Ns. Rini Kadar bisa mendapatkan tempat dibaris ketiga dari depan (hehehe, itulah kehebatan berani bertanya dan berani malu). Sambil duduk, saya mengedarkan pandangan untuk mencari tahu kali-kali aja ada wajah yang failiar yang saya kenal juga hadir diacara itu, ternyata tidak. Didepan panitia hilir mudik membagikan kotak kue pada peserta sambil sesekali menenangkan peserta yang mayoritas (l.k 80%) adalah gadis remaja dan ibu-ibu paruh baya, yang rupanya sudah tidak sabar menantikan idola mereka. Sambil menunggu kedatangan Andrea, peserta dihibur oleh penampilan bocah-bocah cilik, siswi TK athirah yang membawakan sebuah tarian pak tani diiring lagu anak-anak "cangkul-cangkul, cangkul yang dalam" (hahaha, maaf saya lupa apa judulnya). Kemudian dilanjutkan dengan penampilan murid-murid SD Athirah yang memainkan alat musik pianika sekitar 5 menit, hanya saja kali ini telinga saya kurang peka untuk menangkap lagu apa yang sedang dibawakan. Mungkin karena saya sedang fokus mengabadikan gambar salah satu murid SD tersebut yang wajahnya sangat mirip dengan teman akrab saya, Ns. Citha.

Sekitar jam 9.30 WITA, rombongan Andrea Hirata tiba diruangan. Suasana dalam ruangan yang semula tenang seketika terdengar seperti rubungan lebah yang menemukan nektar diladang tandus. Peserta hampir semua berdiri, blitz kamera menyala disana sini menyilaukan. Bahkan beberapa peserta spontan maju ke bibir panggung untuk mengabadikan dari dekat wajah Andrea Hirata. Saya sendiri tidak ikut maju, berhubung zoom kamera Canon Powershot S5IS saya sudah bisa mengclose-up wajah Andrea dengan sangat jelas. Karena suasana semakin tidak terkontrol didepan, akhirnya security serta pihak managemen Andrea turun tangan untuk mengamankan potografer2 amatiran yang jumlahnya terus saja membludak. Setelah tenang sedikit, acara dimulai dengan pembacaan Kalam Ilahi yang diikuti Saritilawah dari pihak guru Athirah, mengalir sambutan oleh ketua yayasan Athirah, dan penampilan murid SMP athirah. Penampilan mereka cukup apik dan luwes. Murid SMP athirah ini menarikan sebuah tari kontemporer yang diiringi lagu Bunda. Entah karena kepiawaian murid-murid ini membawakan tari ataukah karena syair lagu Bunda yang menyentuh, saya perhatikan Andrea sempat terbawa emosi haru yang tampak dari roman mukanya. Saya sengaja men-zoom wajah Andrea karena rasa penasaran yang tiba-tiba muncul begitu saja. Jadi, pada saat orang lain mengabadikan tarian murid Athirah, maka saya fokus ke ekspresi wajah Andrea. Terlihat bahwa Andrea berusaha menahan perasan haru dan bibirnya tampak bergerak patah-patah mencoba mengikuti lagu Bunda meski tidak hapal syairnya, kecuali bagian refrain. Saya mengambil kesimpulan, benar seperti yang tertulis dalam bukunya, Andrea sangat patuh dan hormat pada atribut apapun yang mengikuti ibu, ibunda, emak, mama, bunda.

Akhirnya tiba pada acara inti, Andrea menyapa semua peserta dengan senyumnya yang khas, gaya tubuhnya yang dinamis yang mengirimkan sinyal-sinyal motivasi ke relung jiwa setiap pesertanya. Ada aura positive yang tertangkap dari gaya bahasanya. Juga petuah-petuah bijak mengalir dari budi bahasanya yang halus. Yang ditekankan saat itu adalah cerita tentang ketulusan. Ketulusan ibu Muslimah, ibu gurunya yang mau mengajar disebuah sekolah Muhammadiyah tanpa menerima bayaran (kadang-kadang cukup dibayar dengan beras oleh orangtua murid) disalah satu pulau terpencil di Sumatera. Ketulusan seorang guru yang hanya lulusan SKP (Sekolah Kepandaian Putri) yang ternyata saat itu baru berusia 15 tahun, tapi sudah mendedikasikan dirinya untuk masa depan pendidikan anak-anak miskin pulau Belitong. Dedikasi seperti ini mungkin sangat langka kita temui dijaman sekarang, apalagi dikota-kota besar. Mana ada coba guru yang mau mengajar hanya dengan iming-iming beras 15 Kg tiap bulannya atau tidak dibayar sama sekali?. Sangat langka bukan?! Ibu Muslimah malah sebaliknya, dirinya bak sumur air yang jernih, sumber kehidupan yang tidak ada habisnya ditengah ladang yang ditinggalkan. Begitulah arti seorang ibu Muslimah bagi Andrea pribadi. Andrea menuturkan keinginan menulis bukunya sendiri berawal dari dari suatu waktu beliau duduk dikelas 3 SD, saat itu hujan lebat. Dan dari dalam kelas Andrea melihat ibu guru kesayangannya datang menggunakan pelepah daun pisang sebagai pengganti payung. Dari situ tiba-tiba terbersit keinginan Andrea untuk menunjukkan baktinya pada sang ibunda guru, bahwa suatu hari nanti akan menulis buku bagi ibu Muslimah, agar bisa membuat beliau bangga. Cukup lama ide itu terendap, sampai suatu ketika dipenghujung tahun 2004 saat Tsunami menuluh lantakkan Nangroe Aceh Darussalam, Andrea menjadi salah satu volunteer atau relawan pasca tsunami. Setelah bekerja keras selama 3 minggu diAceh, dalam perjalanan pulang mengendarai bus, Andrea melewati salah satu daerah yang juga hancur akibat tsunami. Tanpa sengaja, matanya tertumbuk pada reruntuhan sebuah sekolah, dan didepan sekolah tersebut berdiri seorang ibu guru sambil memegang sebuah spanduk bertuliskan "Ayo kembali sekolah, Jangan sampai patah semangat". Tiba-tiba saja bayangan Ibunda gurunya berkelebat dalam kepalanya, dan janjinya untuk membuat buku menggeliat bangun dari alam bawah sadarnya.

Pulang dari situ, Andrea mengurung diri di selama tiga minggu dikamarnya seperti orang gila. Menulis buku katanya, ya menulis buku. Andrea tertawa, menangis, marah, senang, meringis, kecewa, semua menjadi satu dalam kumpulan naskah tulisan yang disimpannya dalam sebuah laptop milik bersama teman kost. Saat itu dirinya hanya berniat menunjukkan naskah yang dibuatnya kepada Ibu muslimah yang kondisi kesahatanya mulai menurun, hanya itu tidak ada niat untuk mempublikasikannya pada khalayak ramai. Namun, rupanya teman kostnya secara tidak sengaja membaca dan mengirimkannya pada sebuah penerbit dengan tetap mencantumkan nama Andrea sebagai penulisnya. Ternyata diluar dugaan, sambutan masyarakat pembaca akan buku ini sangat besar, ratusan ribu exemplar laris manis bak kacang goreng ditoko-toko buku terkemuka. Buku ini bahkan sekarang sudah terjual lebih dari setengah juta copy dan mengukuhkan gelar sebagai the best seller book in Indonesia. Tidak hanya laris diIndonesia dan negara tetangga Malaysia, bahkan kini buku ini rencananya akan diterjemahkan kedalam bahasa asing yang akan beredar dinegara-negara Eropa.

Selesai tanya jawab yang dibuka dalam dua babakan, dimana tiap babakan terdiri dari tiga penanya. Acara dilanjutkan dengan foto bareng dan tanda tangan Andrea dibuku2 karyanya. Karena budaya Indonesia yang dikenal sulit antri, maka acara foto bareng akhirnya dipercepat, digantikan dengan Signing book yang bertempat diruang sebelah tempat seminar diadakan sebelumnya. Sempat terjadi ketegangan, karena banyak peserta tidak mau antri dan seenaknya saja memotong pada barisan peserta yang sudah berbaris memanjang keluar dan menunggu Andrea sekitar 30 menitan. Andrea sempat diamankan oleh pihak manajemennya, karena terjadi chaos dimana ibu2 yang tidak sabaran bergerak agresif kedepan mencoba mendekati Andrea untuk sekedar minta tandatangan atau kalau beruntung, bisa berfoto disamping Andrea.

Saya menunggu giliran cukup lama walaupun saya berada dibarisan nomor duapuluhan dari kepala antrian. Mendekati giliran, saya lihat Andrea yang pagi itu mengenakan kemeja merah maroon dan topi baret hitam seperti topi pak Tino dalam acara lukis-melukis di TVRI jaman saya SD dulu; duduk disebuah meja dengan dikelilingi oleh bapak-bapak security yang mengenakan seragam batik cokelat muda dan safari hitam. Andrea tampak tenang, menuliskan namanya disetiap buku sambil menanyakan pada peserta yang berdiri didepannya nama siapa yang akan dituliskan sebelum dia menggoreskan tanda tangannya.

Ketika tiba giliran saya, saya sempat menyapanya "Hello Mr. Andrea, Ca va?!", dia hanya tersenyum sambil menunduk, lalu mungkin sadar kalau saya menyapanya dalam bahasa Perancis. Dia lalu mendongak tersenyum pada saya lalu menjawab "Tres bien, merci" (French: I'm very well, Thanks). "Siapa namanya?". Saya jawab singkat "Aya". Saya lihat Andrea lalu menuliskan dua baris kalimat pada buku "Sang Pemimpi" dengan tulisan --Dear Aya. Andrea Hirata.-- Lalu pada buku "Edensor" Andrea menambahkan satu baris kalimat lagi "Tres bien" (baca: Trai byern) yang bermakna seperti yang saya tulis diatas tadi, Hmm....bukannya ingin keGR-an, tapi saya yakin ini tidak terjadi pada hampir semua buku-buku lain yang ditanda tangani oleh Andrea pada hari itu. Buku Laskar Pelangi sendiri yang merupakan seri pertama, karena merupakan milik teman saya, maka saya minta Andrea menuliskan nama teman saya dibagian dalamnya, Chita. Setelah itu, saya beri ucapan terima kasih dalam bahasa perancis "Merci beacoup" (baca: mair-see boku) sambil menyalami tangan Andrea yang diikuti oleh anggukan kepalanya dan senyumnya yang simpatik. Wow, pertemuan yang hanya kurang dari satu menit, tapi sangat berkesan bagi saya. Dan kalau ingin dibuat cerita lengkapnya, mungkin dua halaman A4 masih belum cukup. Hahaha....inilah yang disebut syndrom gila nomor sekian sekian. Jika bertemu tokoh yang diidolakan, ada dua kemungkinan bisa terjadi. Pertama, tergugu terbata-bata diam dan membisu, yang kedua sebaliknya, banyak bicara ke-PD-an dan meracau menggunakan bahasa planet Mars. Yah, itulah saya. Bukan hanya sekali terjadi, berkali-kali bahkan, tetapi lebih seringnya sih yang nomer dua. Seperti saat bertemu Andi Malarangeng, Heidy Yunus dan Riri Riza diSydney dulu. Sedang option nomer satu terjadi saat saya bersalaman dengan SBY dan menteri-menteri kabinetnya saat diselenggarakannya APEC 2007 yang juga dipusatkan diSydney serta idola paling favorit saya, Nicholas Saputra. Yang saya bisa lakukan hanya diam tersenyum manis sambil merasakan denyut jantung yang tiba-tiba saja meloncat melebihi normal, untung gak collapes euy.

Anyway, acara hari itu tergolong cukup sukses meski pesertanya masih agak susah diatur. Yaah, tipikal sebagian orang Indonesia lah... yang masih belum juga insyaf akan pentingnya sikap displin dalam kehidupan sehari-hari. Panitia sudah berusaha maksimal mendatangkan Andrea Hirata dan mengarrange acara sedemikian rupa hingga layak untuk dihadiri.

Tidak rugi saya mengorbankan sebagian hari kerja untuk datang ke Seminar itu. Padahal saya tidak sempat ijin pada Pimpinan untuk tidak masuk setengah hari, mudah-mudahan beliau mahfum akan kegilaan saya^_^.

Pagi itu sebenarnya saya ditelepon untuk datang kekantor lebih awal karena bersama seorang rekan saya yang lain yang juga gape cas cis cus English, saya diminta untuk mengikuti presentasi perwakilan dari Universitas Kanada yang datang ke Fakultas Kedokteran untuk membuat MoU dalam rangka pengembangan kurikulum berbasis PBL (Problem Based Learning). Saya bukannya mau membandel dan tidak tunduk pada pimpinan, tapi saya merasa penunjukan itu sangat tiba-tiba tanpa ada konfirmasi sehari sebelumnya, bahkan saya tidak jelas apa yang nanti harus saya lakukan disana. Itu tidak akan pernah terjadi sodara-sodara diluar negeri, jangan harap meminta seseorang secara sembarangan tanpa appointment atau perjanjian terlebih dahulu, meskipun kita kenal baik dengan orang tersebut. Yeah....., i know ini di Indonesia bukan Australia, so...anda pasti bilang saya cukup kelewatan. Saya tidak akan menolak instruksi pimpinan saya seandainya tidak ada seminar ini, tapi berhubung saya sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari untuk bertemu Andrea, maka saya hanya bisa minta maaf pada pimpinan saya. Mudah-mudahan next time, gak ada lagi jadwal yang berbenturan kayak gini.